Selasa, Juni 03, 2008

MONOLOG-MONOLOG PENDEK

(1)

Waktu adalah siput
tekun dan teguh
merayapi setiap helaan nafas
sabar,
ikhlas.

Waktu adalah siput
beringsut
selangkah,
selangkah.

Ya, Allah.

(2)

Setiap berderik pintu
berderik jugalah batinku.
Ketika yang dinanti belum juga tiba,
tidak apa-apa.
Toh waktu akan berpihak pada kita.

Kubetulkan letak dudukku
karena setiap pintu berderik
tubuhku serentak bergerak.
Lalu aku pun bernyanyi
pelan sekali.
Nadanya sendu
Syairnya cinta.

Ya, Allah

(3)

Usai sudah ramadhan ini, ya Allah
Apakah saya masih sempat bertemu lagi dengan ramadhan
Saya gamang
karena berkah dan ampunan
rasanya selalu luput dari gengggaman

Ampuni saya, ya Allah.

(4)

Sepanjang hari
selaksa rasa
berdesakan
meluap sampai ke dada.
Selalu tak terucapkan semua,
hanya getar bibir
hanya sorot mata.

Kemarilah,
akan saya ledakkan selaksa rasa itu
di rengkuhan pelukanmu

(5)

Rinduku mengejarmu
di padang rasa tak berbatas
Kupekikkan namamu
hingga bergema ke langit atas

Kembangkan tangan,
mari kita berpelukan.

(6)

Pagi yang basah karena gerimis
membuat langit bagai kelambu.

Ada gemuruh dari jauh
ada gemerisik dekat sini
merapat ke hati,
hati-hati.

Hai, ternyata itu kamu

Hai, kamu menarik tubuhku
masuk ke dalam kelambu

(7)

Matahari di atas sana
awan berarak di sebelahnya.
Kesiur angin di depan
dendang lagu di kejauhan.

Burung di daun
semut di ranting.
Engkau tetap
di hati ini.

(8)

Kabut yang turun
di jalan itu
Mengurung kerlip lampu
di tiang-tiang yang jauh.
Sementara di sini,
hatiku digulung rindu
kepadamu.

(9)

Gunung-gunung,
rindu menusuk.
Burung-burung,
rindu merasuk.
Air dan pohonan
angin dan desiran
membawaku
kepadamu.

(10)

Aku ingin menulis syair
mengungkap harap
merangkai doa
padamu.

Aku ingin selendang merah
melambai mesra di leher indah
milikmu.

Aku ingin wangi melati
wangi cinta tak berbagi
darimu.

(11)

Rinduku menusuk
bagai paku,
ujungnya sampai
ke tulang sumsum.

Rinduku mengiris kulit ari
menyayat urat
mengerat daging.

Sampai subuh,
rinduku
sampai ulu hati.

Sampaikah padamu?

Senin, Juni 02, 2008

DOA (1)

Beri saya sebuah gagasan
karena kemarin pun kami pernah berdekapan
dengan tangan bergenggam dan mata terpejam.

Cumalah karena melulu bercinta
kemarin itu kami tak berbuat apa-apa.

Beri lagi saya sebuah gagasan, Tuhan

DOA (2)

Beri saya gerak
beri saya teriak.
Beri saya getar
beri saya pijar.
Beri saya desah
beri saya gelisah.
Beri saya gelora
beri saya cinta.

Beri saya jeram
Beri saya topan
Beri saya banjir
Beri saya petir.

Beri saya apa saja.

Ketiadaan akan membuat saya gila, Tuhan.

DOA (3)

Jangan biarkan tak ada apa-apa
biarkanlah kendati sisa.
Jangan pernah biarkan ngambang
walaupun bayang.

Jangan biarkan sepi
karena terasa mengiris nyeri.
Jangan biarkan hampa
karena membuat hati merana,

Tuhan.

Jumat, Februari 08, 2008

DARI SUDUT-SUDUT SEBUAH PESISIR

(1)

Suara Lautan Hindia adalah musik rohani yang purba
Adapun putih buih-buihnya
adalah putih hati nelayannya.

Saya terkesan oleh laju airnya menepi
yang tak kenal henti
Apakah itu cerminan derita yang menghantam bangsaku
dari dulu dari waktu ke waktu.

Matahari mulai bertahta.

Saya pun menekukkan jemari tangan
Saya melihat nelayan pulang tanpa ikan.

Lautan Hindia menguap
Di ujungnya
kaki langit hanya garis rata yang senyap.
Mengecilkan hati, duh

Mengecilkan hatiku.

(2)

Gemintang di luar jendela
bagai mata sejuta dara.
Angin mungkin berlalu, daunan terdengar riuh
Langit begitu kukuh.
Tak ada mega, cuma sepotong bulan
sedang melamun.
Sedangkan bunyi derik dahan-dahan
Adalah gemeletuk tulang sendi
dari tubuh legam yang kepayahan..

(3)

Siang bergerak
Laut bagai layar perak.
Pasir putih,
karang putih,
anjing-anjing.
Seorang juragan memanggil nelayan sembari kencing.

Ada kapal, seperti dalam gambar
Ada sampan, terbanting-banting ombak besar
Alangkah kekal perjalanan itu
Alangkan kekal,

Kemiskinanku.

(4)

(buat seorang anggota DPR)

Kampungnya kampung sepi, kawan
Siangnya juga amat sendiri.
Karena sejak pagi
mereka berangkat
menembus hari-hari yang sama.
Dan setiap senja mereka pulang
Sehabis bertarung 12 jam
Saya lihat
Di wajahnya tambah lagi sebuah cacat.

Tiba-tiba saya kepingin menemuimu di Jakarta
Dan kita minum kopi espreso seperti biasa
sambil mendiskusikan kesaksian ini bersama-sama.

Atau lebih baik sambil menonton berita dunia
sementara dalam hati kita ukir syair cinta
untuk para biksu di Burma.

Sebagai selingan,
dari kepungan kemelut abadi yang karib ini?.

DALAM HUJAN

Hujan turun dari pagi
bulat-bulat menelan bumi
Siang basah kuyup
hari amat redup.

Gaung air yang menyerbu bumi
bagai bunyi lebah pindah
Jalanan sunyi
Pohonan gelisah.

Kuberdirikan kerah bajuku
Aku teringat pada orang-orang di pinggiran kali itu.

Hujan turun hingga malam
Hujan terasa mencekam
Tak kulihat lagi di mana langit
Hanya titik lampu
Hanya cik-cak cicak
sambil lalu.

Kumatikan api rokok
Aku teringat pada lumpur panas yang menelan Sidoarjo.

Jam berbunyi
Sudah dinihari
Tik-tik air masih tersisa
Melawan sepi yang berlaga.

Jam berbunyi lagi.

Kurebahkan tubuhku limbung
Aku teringat pada pelacur-pelacur yang sepi pengunjung.

Sabtu, Januari 05, 2008

PERHITUNGAN

Aku terbangun jam dua malam
Inilah saat yang tepat
untuk menyebut nama Tuhan.
Dan kusebut nama Tuhan

Seperti remaja berulang tahun.

Hari-hari terus saja lewat
bagai air dari pegunungan.
Melalui batu-batu, celah, pohonan
tak terhentikan.

Hari-hari terus saja lewat
tak terbendung.
Jejaknya masa lalu yang bertumpuk
Tak berbentuk.

Aku terpejam

Hai, tapi siapa itu yang mencakari daun pintu?

Ada bunyi derik di langit-langit
Lalu debur jatuh di dalam sumur

Siapa ini yang menyingkap selimutku
Yang bergesek di betisku?


Dan kusebut nama Tuhan
sambil menyusupkan muka.

Seperti bocah sakit hati.