Jumat, Februari 08, 2008

DARI SUDUT-SUDUT SEBUAH PESISIR

(1)

Suara Lautan Hindia adalah musik rohani yang purba
Adapun putih buih-buihnya
adalah putih hati nelayannya.

Saya terkesan oleh laju airnya menepi
yang tak kenal henti
Apakah itu cerminan derita yang menghantam bangsaku
dari dulu dari waktu ke waktu.

Matahari mulai bertahta.

Saya pun menekukkan jemari tangan
Saya melihat nelayan pulang tanpa ikan.

Lautan Hindia menguap
Di ujungnya
kaki langit hanya garis rata yang senyap.
Mengecilkan hati, duh

Mengecilkan hatiku.

(2)

Gemintang di luar jendela
bagai mata sejuta dara.
Angin mungkin berlalu, daunan terdengar riuh
Langit begitu kukuh.
Tak ada mega, cuma sepotong bulan
sedang melamun.
Sedangkan bunyi derik dahan-dahan
Adalah gemeletuk tulang sendi
dari tubuh legam yang kepayahan..

(3)

Siang bergerak
Laut bagai layar perak.
Pasir putih,
karang putih,
anjing-anjing.
Seorang juragan memanggil nelayan sembari kencing.

Ada kapal, seperti dalam gambar
Ada sampan, terbanting-banting ombak besar
Alangkah kekal perjalanan itu
Alangkan kekal,

Kemiskinanku.

(4)

(buat seorang anggota DPR)

Kampungnya kampung sepi, kawan
Siangnya juga amat sendiri.
Karena sejak pagi
mereka berangkat
menembus hari-hari yang sama.
Dan setiap senja mereka pulang
Sehabis bertarung 12 jam
Saya lihat
Di wajahnya tambah lagi sebuah cacat.

Tiba-tiba saya kepingin menemuimu di Jakarta
Dan kita minum kopi espreso seperti biasa
sambil mendiskusikan kesaksian ini bersama-sama.

Atau lebih baik sambil menonton berita dunia
sementara dalam hati kita ukir syair cinta
untuk para biksu di Burma.

Sebagai selingan,
dari kepungan kemelut abadi yang karib ini?.

Tidak ada komentar: