Selasa, Juni 03, 2008

MONOLOG-MONOLOG PENDEK

(1)

Waktu adalah siput
tekun dan teguh
merayapi setiap helaan nafas
sabar,
ikhlas.

Waktu adalah siput
beringsut
selangkah,
selangkah.

Ya, Allah.

(2)

Setiap berderik pintu
berderik jugalah batinku.
Ketika yang dinanti belum juga tiba,
tidak apa-apa.
Toh waktu akan berpihak pada kita.

Kubetulkan letak dudukku
karena setiap pintu berderik
tubuhku serentak bergerak.
Lalu aku pun bernyanyi
pelan sekali.
Nadanya sendu
Syairnya cinta.

Ya, Allah

(3)

Usai sudah ramadhan ini, ya Allah
Apakah saya masih sempat bertemu lagi dengan ramadhan
Saya gamang
karena berkah dan ampunan
rasanya selalu luput dari gengggaman

Ampuni saya, ya Allah.

(4)

Sepanjang hari
selaksa rasa
berdesakan
meluap sampai ke dada.
Selalu tak terucapkan semua,
hanya getar bibir
hanya sorot mata.

Kemarilah,
akan saya ledakkan selaksa rasa itu
di rengkuhan pelukanmu

(5)

Rinduku mengejarmu
di padang rasa tak berbatas
Kupekikkan namamu
hingga bergema ke langit atas

Kembangkan tangan,
mari kita berpelukan.

(6)

Pagi yang basah karena gerimis
membuat langit bagai kelambu.

Ada gemuruh dari jauh
ada gemerisik dekat sini
merapat ke hati,
hati-hati.

Hai, ternyata itu kamu

Hai, kamu menarik tubuhku
masuk ke dalam kelambu

(7)

Matahari di atas sana
awan berarak di sebelahnya.
Kesiur angin di depan
dendang lagu di kejauhan.

Burung di daun
semut di ranting.
Engkau tetap
di hati ini.

(8)

Kabut yang turun
di jalan itu
Mengurung kerlip lampu
di tiang-tiang yang jauh.
Sementara di sini,
hatiku digulung rindu
kepadamu.

(9)

Gunung-gunung,
rindu menusuk.
Burung-burung,
rindu merasuk.
Air dan pohonan
angin dan desiran
membawaku
kepadamu.

(10)

Aku ingin menulis syair
mengungkap harap
merangkai doa
padamu.

Aku ingin selendang merah
melambai mesra di leher indah
milikmu.

Aku ingin wangi melati
wangi cinta tak berbagi
darimu.

(11)

Rinduku menusuk
bagai paku,
ujungnya sampai
ke tulang sumsum.

Rinduku mengiris kulit ari
menyayat urat
mengerat daging.

Sampai subuh,
rinduku
sampai ulu hati.

Sampaikah padamu?

Senin, Juni 02, 2008

DOA (1)

Beri saya sebuah gagasan
karena kemarin pun kami pernah berdekapan
dengan tangan bergenggam dan mata terpejam.

Cumalah karena melulu bercinta
kemarin itu kami tak berbuat apa-apa.

Beri lagi saya sebuah gagasan, Tuhan

DOA (2)

Beri saya gerak
beri saya teriak.
Beri saya getar
beri saya pijar.
Beri saya desah
beri saya gelisah.
Beri saya gelora
beri saya cinta.

Beri saya jeram
Beri saya topan
Beri saya banjir
Beri saya petir.

Beri saya apa saja.

Ketiadaan akan membuat saya gila, Tuhan.

DOA (3)

Jangan biarkan tak ada apa-apa
biarkanlah kendati sisa.
Jangan pernah biarkan ngambang
walaupun bayang.

Jangan biarkan sepi
karena terasa mengiris nyeri.
Jangan biarkan hampa
karena membuat hati merana,

Tuhan.

Jumat, Februari 08, 2008

DARI SUDUT-SUDUT SEBUAH PESISIR

(1)

Suara Lautan Hindia adalah musik rohani yang purba
Adapun putih buih-buihnya
adalah putih hati nelayannya.

Saya terkesan oleh laju airnya menepi
yang tak kenal henti
Apakah itu cerminan derita yang menghantam bangsaku
dari dulu dari waktu ke waktu.

Matahari mulai bertahta.

Saya pun menekukkan jemari tangan
Saya melihat nelayan pulang tanpa ikan.

Lautan Hindia menguap
Di ujungnya
kaki langit hanya garis rata yang senyap.
Mengecilkan hati, duh

Mengecilkan hatiku.

(2)

Gemintang di luar jendela
bagai mata sejuta dara.
Angin mungkin berlalu, daunan terdengar riuh
Langit begitu kukuh.
Tak ada mega, cuma sepotong bulan
sedang melamun.
Sedangkan bunyi derik dahan-dahan
Adalah gemeletuk tulang sendi
dari tubuh legam yang kepayahan..

(3)

Siang bergerak
Laut bagai layar perak.
Pasir putih,
karang putih,
anjing-anjing.
Seorang juragan memanggil nelayan sembari kencing.

Ada kapal, seperti dalam gambar
Ada sampan, terbanting-banting ombak besar
Alangkah kekal perjalanan itu
Alangkan kekal,

Kemiskinanku.

(4)

(buat seorang anggota DPR)

Kampungnya kampung sepi, kawan
Siangnya juga amat sendiri.
Karena sejak pagi
mereka berangkat
menembus hari-hari yang sama.
Dan setiap senja mereka pulang
Sehabis bertarung 12 jam
Saya lihat
Di wajahnya tambah lagi sebuah cacat.

Tiba-tiba saya kepingin menemuimu di Jakarta
Dan kita minum kopi espreso seperti biasa
sambil mendiskusikan kesaksian ini bersama-sama.

Atau lebih baik sambil menonton berita dunia
sementara dalam hati kita ukir syair cinta
untuk para biksu di Burma.

Sebagai selingan,
dari kepungan kemelut abadi yang karib ini?.

DALAM HUJAN

Hujan turun dari pagi
bulat-bulat menelan bumi
Siang basah kuyup
hari amat redup.

Gaung air yang menyerbu bumi
bagai bunyi lebah pindah
Jalanan sunyi
Pohonan gelisah.

Kuberdirikan kerah bajuku
Aku teringat pada orang-orang di pinggiran kali itu.

Hujan turun hingga malam
Hujan terasa mencekam
Tak kulihat lagi di mana langit
Hanya titik lampu
Hanya cik-cak cicak
sambil lalu.

Kumatikan api rokok
Aku teringat pada lumpur panas yang menelan Sidoarjo.

Jam berbunyi
Sudah dinihari
Tik-tik air masih tersisa
Melawan sepi yang berlaga.

Jam berbunyi lagi.

Kurebahkan tubuhku limbung
Aku teringat pada pelacur-pelacur yang sepi pengunjung.

Sabtu, Januari 05, 2008

PERHITUNGAN

Aku terbangun jam dua malam
Inilah saat yang tepat
untuk menyebut nama Tuhan.
Dan kusebut nama Tuhan

Seperti remaja berulang tahun.

Hari-hari terus saja lewat
bagai air dari pegunungan.
Melalui batu-batu, celah, pohonan
tak terhentikan.

Hari-hari terus saja lewat
tak terbendung.
Jejaknya masa lalu yang bertumpuk
Tak berbentuk.

Aku terpejam

Hai, tapi siapa itu yang mencakari daun pintu?

Ada bunyi derik di langit-langit
Lalu debur jatuh di dalam sumur

Siapa ini yang menyingkap selimutku
Yang bergesek di betisku?


Dan kusebut nama Tuhan
sambil menyusupkan muka.

Seperti bocah sakit hati.

Jumat, Januari 04, 2008

DI MANA-MANA

Di mana-mana ada pengemis. Di persimpangan jalan berlampu stopan, misalnya, paling sedikit akan kita jumpai empat jenis pengemis.
Yang pertama sebut saja pengemis konvensional, yaitu penyandang cacat dan orang-orang sepuh yang renta. Kalau cacatnya buta, mereka berjalan merayap lalu merapat ke kaca mobil dengan gapaian jemarinya. Kalau cacatnya bukan buta, mereka kadang bersimpuh di pinggir jalan, kadang pula sedikit mengerang, sambil menjulurkan sebelah kakinya yang dibebat kain berlumuran cairan merah. Adapun pengemis sepuh, hemat saya, adalah pengemis tak banyak lagak. Suaranya lirih, assalamu’alaikumnya fasih
Yang kedua biasa disebut pengamen. Ada yang bergerombol bernyanyi dan bertabuh-tabuhan. Ada juga yang sendirian, bergitar, bersuling, atau cukup bertepuk tangan. Jenis pengamen ini paling banyak variannya. Anak jalanan termasuk salah satunya. Preman-preman juga nyambinya di sini. Varian yang lain: berdasarkan potongan dan cat rambutnya, sistem bagi hasilnya, wilayah kekuasaannya, dan sebagainya.
Jenis ketiga adalah merekan yang biasa menyerbu kaca mobil dan kaca spion. Peralatannya lap atau kemoceng. Pada saat hujan, dengan sensasi berhujan-hujanan, mereka mendapatkan momentum yang efektif untuk menekan sasaran. Mata merah, gaya teler, akan menyegerakan ibu-ibu yang mengemudikan mobilnya sendirian menyodorkan kepingan uangnya.
Jenis keempat, si pembawa kotak. Kalau perempuan, biasanya ibu-ibu berjilbab, bertopi, dan mengempit tas. Kalau laki-laki, biasanya bersorban, atau berpici, atau berbaju koko. Kotak yang disodorkannya bertulisan amal jariyah untuk pembangunan masjid, pesantren, pengungsi, atau entah apa lagi, dan entah di mana.
Di persimpangan jalan yang tanpa lampu stopan, atau di belokan jalan memutar, kita tahu, ada pengatur lalu lintas swasta. Pernah dijuluki pak ogah, atau polisi cepek. Perannya sangat dominan dalam menyetop antrian mobil dari jurusan sini dan menyilakan antrian mobil dari arah sana. Klakson boleh bersahut-sahutan, juga gerutuan. Tapi apalah artinya itu dibandingkan dengan kalkulasi rupiah dari pusaran arus kendaraan yang manajemennya, sepenuhnya, dikendalikannya.
Selain di persimpangan, di jalan lurus pun para pengemis tidak kurang banyaknya. Mereka memasang drum-drum di tengah jalan untuk merintangi laju kecepatan kendaraan. Mereka .berderet, merunduk-runduk, dan mengasong-asongkan jaring penangkap uang kepada setiap pengendara yang lewat. Melalui pengeras suara, kutipan ayat suci Al-Quran menyemarakkan pemandangan ini. Atas nama rumah Tuhan. Anda diminta pelan, diminta sabar, diminta sumbangan,
Dalam rangka memperingati 17 Agustus pun, Anda yang kebetulan lewat di sebuah jalan kecil, seringkali kepergok diminta sumbangan untuk biaya perayaan di lingkungan jalan itu.
Jalan berlubang juga mengundang pengemis. Siasatnya: satu orang unjuk kerja menimbun lubang, dua orang masing-masing di ujung sini dan di ujung sana mengatur sistem buka-tutup lalu lintas sambil, tentu saja, meminta-minta.
Para staf kantoran seringkali kerepotan apabila bos mereka menyuruh menghadapi tamu pengemis jenis lain. Pesan bosnya apalagi kalau bukan “bilangin saya lagi keluar”. Banyak pejabat yang ruangan kerjanya punya pintu keluar-masuk rahasia untuk menghindarinya. Kabarnya pernah terjadi sebuah BUMN, dalam jangka waktu tujuh hari berturut-turut, didatangi tamu dari organisasi pemuda, yayasan tentara, koperasi departemen, alumni perguruan tinggi, kantor kelurahan, resor kepolisian, panitia pertandingan golf.. Dua yang disebut pertama menggunakan pendekatan khas, bahasanya sopan, nadanya menekan. Alasan tidak penting, karena yang penting sumbangan. Yang ketiga, selaku sejawat dari departemen teknis, merasa punya hak meminta bagian, terserah masuk pos mana. Yang keempat argumennya sentimen korps dan historis, dalam rangka reuni dan silaturahmi. Yang kelima, dalam rangka THR. Yang keenam, demi keamanan lingkungan. Yang terakhir, demi pembinaan olah raga dan jaga langganan.
Proses pengemisan seringkali dilakukan tidak sederhana dengan langsung berkunjung, melainkan melalui prosedur tetap berupa surat dan proposal, lalu disusul kontak telepon. Melalui surat dan proposal, ditawarkannya buku-buku, kalender, program pembangunan, seminar, atau karcis pertunjukan kesenian. Beberapa hari kemudian telepon berdering. Suara di seberang sana hangat dan bersahabat. Tapi kalau tidak ditanggapi, suara aslinya keluar: “minta bicara dengan pemegang keputusan di kantor ini!”.
Teman saya, duda setengah baya, punya cerita seru. Suatu hari dia kedatangan tiga pemuda, bermusik dan berdendang, lalu menggedor-gedor pintu pagar. Ketika dijawab maaf, mereka komplain: “ini kan tanggal muda, Bapak kan baru gajian!” Di hari lain muncul para petugas kamling mempresentasikan bagaimana gigihnya mereka dalam tiga malam terakhir ini mengintip, mengepung, menelikung, lalu beramai-ramai memukuli seorang pemuda ceking, yang ternyata bukan maling, tapi kurang normal. Di ujung presentasinya, mereka menghiba “mohon kebijaksanaan, kami sudah tidak punya baju seragam”. Di hari lain lagi dia menerima tamu jauh, membawa surat keterangan lengkap dari kepala desanya, menyatakan bahwa rumahnya ludes terbakar. Tentu saja dia minta sumbangan, walaupun di kemudian hari ternyata dia seorang buron kecil-kecilan. Dua hari kemudian muncul perempuan hitam manis, meminta waktu untuk bertemu. Setelah setengah jam pembicaraan, dia menyatakan siap membantu membimbing anak-anak, karena punya kompetensi dalam bidang psikologi perkembangan. Atau sebagai sekretaris pribadi, karena dia pun pernah kuliah di akademi pariwisata. Atau bekerja paruh waktu dengan system flexy time, baik sebagai lady escort, sebagai instruktur kebugaran, maupun sebagai konsultan asuransi. Merasa tidak dilayani, dengan rendah hati tapi elegan si hitam manis mengajukan permohonan pinjam uang untuk ongkos pulang, kalau perlu dengan gelang sebagai jaminan. Selidik punya selidik, tamu terakhir ini merupakan dampak sampingan dari iklan turut berduka cita atas kematian isterinya, kira-kira dua bulan sebelumnya.
Ya, di mana-mana ada pengemis. Di kantor. Di lobi hotel. Di ruang interogasi. Di parlemen. Di pengadilan. Di partai. Di pilkada. Di hati kita.
Maha Suci Allah.

Kamis, Januari 03, 2008

CALON SEGAR, CALON BASI

Bulan depan di desa itu akan diselenggarakan pemilihan kepala desa. Pak Marjan, kepala desa saat ini, sudah habis masa jabatannya. Tapi semangatnya untuk menjadi kades untuk kedua kalinya tetap tinggi. Dia termasuk salah satu dari 5 cakades pada pilkades bulan depan itu. Empat cakades lainnya hampir seangkatan dengan Pak Marjan. Yang pertama Pak Kohar, tokoh ulama desa. Yang kedua Bu Marjan, mantan isteri pertama Pak Marjan. Yang ketiga Pak Abdul, mantan kades dua periode sebelum Pak Marjan. Yang terakhir Pak Rahmat, mantan kades sebelum Pak Marjan. Tentu saja kelima cakades ini mempunyai tim sukses masing-masing. Uang sudah ditebar baik dalam kemasan amplop, paket sembako, seragam hansip, pembagian benih, pertandingan bola berhadiah, maupun renovasi rumah jompo. Rayuan, ancaman, dan teror sudah dilancarkan, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Visi dan misi sudah disosialisasikan. Kampanye hampir tiap hari dilakukan. Tema kampanye Pak Kohar adalah “baldatun toyibatun warobun gofur”. Tema kampnye Bu Marjan “cegahlah kekerasan dalam rumah tangga”. Tema kampanye Pak Abdul “pilihlah cakades gentleman”. Tema kampanye Pak Rahmat “cakades bersih akan terpilih”. Sedangkan tema kampanye Pak Marjan ”sekali juara tetap juara”.
Sebagai calon incumbent, Pak Marjan memang menjadi musuh bersama calon lainnya. Dalam pidato kampanye para seterunya itu, sering sekali Pak Marjan menjadi bulan-bulanan kritik, sindiran, bahkan pelecehan. Pak Kohar, misalnya, menyebut bahwa pemerintah desa saat ini sudah ngaco. Ada 2 pejabat desa yang selingkuh dari isterinya, beberapa anak-anak pejabat desa yang teler, beberapa pejabat desa yang terlibat praktek ijon dan renten, dan seterusnya. Tapi seperti biasanya, kalau diminta bukti, Pak Kohar selalu ngejeplak “cari aja sendiri !” Bu Marjan, apalagi, paling keras tonjokannya kepada Pak Marjan. Sebagai mantan isterinya, Bu Marjan merasa paling sah untuk mengungkapkan aib rumah tangganya dulu: bagaimana dia ditipu, dibohongi, ketika awal-awal Pak Marjan kawin lagi, untuk selanjutnya bagaimana tidak adilnya Pak Marjan memperlakukan isteri-isterinya. Pak Abdul juga sering memperolok-olokan Pak Marjan sebagai laki-laki pengecut, “tukang menohok kawan seiring, tukang menggunting dalam lipatan”. Maklum, mereka dulu pernah bersaing memperebutkan Nyi Oneng, dan Pak Abdul keok. Nyi Oneng sekarang menjadi isteri pertama Pak Marjan setelah cerai dengan Bu Marjan. Dalam kaitan inilah Bu Marjan mati-matian mempertahankan nama “Bu Marjan” karena menurut teorinya, hanya dialah yang berhak atas trade mark itu. Adapun Pak Rahmat, dalam black campaign-nya selalu menyindir-nyindir kelakuan Pak Marjan ketika dulu menjadi Sekdes-nya. Waktu itu Pak Marjan sering pinjam uang PBB, dan sampai sekarang perhitungannya belum jelas. Pak Rahmat selalu menyindir “cakades korupsi harus menyisih, sebelum disapu bersih”. Adapun Pak Marjan, menghadapi serangan bersama itu, tetap pede dengan mengampanyekan diri sebagai cakades yang paling layak jadi juara.
Demikianlah gegap-gempita pertarungan memperebutkan posisi top di desa itu. Antartim sukses terjadi ketegangan. Pernah juga terjadi keributan, yaitu waktu ada pertunjukan dangdut dan wayang golek. Posko-posko calon selalu ramai dengan diskusi mengatur taktik dan strategi. Radio disetel keras-keras, asap rokok mengepul tebal-tebal. Kopi panas. teh panas, aneka kue, selalu terhidang. Di pinggir-pinggir jalan berkibaran bendera-bendera calon. Di tembok-tembok bertebaran foto-foto calon. Dan setelah diselingi 2 hari masa tenang, maka sampailah pada hari H pilkades itu. Sejam sebelum adzan subuh, para tim sukses bergerilya mengetuk pintu rumah-rumah. Sekali lagi money politic dijalankan sambil menegaskan pesan, “jangan lupa pilihlah jagoan Anda ini”.
Mulai jam tujuh pagi, satu persatu para cakades tiba di arena pencoblosan. Pak Marjan tiba lebih dulu, memaksakan diri berjalan tegap, menyembunyikan keringkihan tubuhnya akibat asma yang akut. Kemudian muncul Pak Kohar, di atas kursi roda yang ramai-ramai didorong tim suksesnya. Sudah dua tahun ini Pak Kohar tidak bisa berjalan karena terserang stroke. Tapi mungkin karena begitu tabiatnya, atau karena kamuflase semata, dialah cakades yang paling seenaknya ngomongnya dan paling cuek lagak-lagunya. Lima menit kemudian Pak Abdul datang. Tidak seperti biasanya, dia tidak membawa tongkat. Kacamatanya kelihatan baru, tapi nampaknya tetap saja tidak banyak membantu penglihatannya yang sudah rabun berat. Dia berjalan seolah bermata normal, sedangkan para pengiringnya terus siaga berjalan di sampingnya. Selanjutnya muncul Pak Rahmat, pakai jas lengkap, pakai sepatu hak tinggi, dan pakai hearing aids. Dialah cakades paling pendek, paling tua, tapi paling kaya. Kira-kira jam tujuh seperempat, barulah Bu Marjan datang. Senyum khasnya terus-menerus menghiasi wajahnya. Konon senyumnya itulah senjata Bu Marjan yang paling ampuh untuk menutupi giginya yang ompong dan menghentikan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan banyak jawaban. Maklum, Bu Marjan penderita gagap berat.
Tepat jam delapan, secara resmi pencoblosan dimulai. Tapi sampai jam sebelas siang, hanya sedikit penduduk yang datang. Ditaksir-taksir, tidak lebih dari sepertiga jumlah pemilih yang mencoblos. Tim sukses dan para bodyguard gelisah. Dengan sigap mereka berpencar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Para cakades berkeringat dingin. Handphone di tangan masing-masing berdering-dering. Ada yang melaporkan dengan bicara, ada juga dengan sms. Dari informasi intelijen yang masuk diketahui bahwa sebagian penduduk ternyata berkumpul di masjid jami, alasannya menunggu solat duhur berjamaah. Sebagian lagi pergi keluar desa, tanpa alasan yang jelas. Sebagian lagi ngobrol-ngobrol saja di pos ronda, sebagian lagi santai di rumah sambil momong anak dan bercanda dengan isteri mereka. Para cakades mulai kehilangan pengendalian diri. Pak Kohar bersila di kursi rodanya, komat-kamit seperti berdoa. Bu Marjan mulai menggosok-gosok pelipis dan tengkuknya dengan balsem, migrennya kumat. Pak Abdul mondar-mandir, kedua tangannya yang gemetar disembunyikannya di saku celananya. Pak Rahmat teronggok di kursi, terus-menerus merokok, tapi pandangan matanya kosong. Pak Marjan sendiri sudah tiga kali bolak-balik ke kamar mandi, mencret.
Ketika lewat tengah hari perhitungan suara dilakukan, masya Allah, lebih dari duapertiga surat suara tidak sah. Akhirnya, setelah rapat kilat dengan panitia dan jajaran stafnya, jam tiga siang Pak Camat mengumumkan pilkades diundur sampai waktu yang akan ditentukan kemudian.
Besoknya, tembok Balai Desa banyak ditempeli kertas selebaran. Para staf desa berkerumun, dengan cermat membaca selebaran-selebaran itu:
“Kami golput”.
“Para pecundang, minggirlah !”
“Sudah tua masih ngelaba, malu dong”.
“Kita ogah stok lama”.
“Cakades tua, daluarsa”.
“Pokoknya cakades muda, tidak bisa tidak !”.
“Kami mau calon segar, bukan calon basi”.

Rabu, Januari 02, 2008

SATU TITIK SATU DIMENSI

Bagi mereka waktu seperti berhenti. Lingkungan di sekitarnya, atau berita-berita di televisi, atau obrolan orang-orang, menyatakan dunia terus berubah dan maju. Tapi tidak bagi Mang Oyo, Andi, Pak Besar, dan Mak Onah. Mang Oyo adalah tukang jualan bubur ayam sejak tahun 70-an. Andi adalah penjaga sekolah merangkap juru parkir di sebuah SMP, sejak umurnya belum 20. Pak Besar adalah penjaga malam di sebuah RW yang sudah 40 tahunan melaksanakan tugasnya. Sedangkan Mak Onah adalah pembantu rumah tangga turun-temurun sampai majikan generasi ketiga.
Bubur Mang Oyo terkenal di seantero kota kecil itu. Halus, panas, gurih. Pedas-tidaknya, manis-asinnya, secara customize bisa dipesan sesuai selera pembeli. Para langganan sudah hapal pada suara dan irama dentingan mangkok porselin yang dibunyikannya. Dengan dentingan yang khas itu, para langganan akan buru-buru keluar rumah dengan kondisi seadanya. Ibu-ibu kebanyakan pakai daster, rambut kusut, dan tentu saja belum mandi pagi. Bapak-bapak hanya pakai celana sontog dan kaus singlet, bahkan kelihatannya cuci muka pun belum. Teman saya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, merupakan pelanggan Mang Oyo sejak dia belum sekolah. Kalau sedang week end, perilakunya akan sama seperti bapak-bapak tadi, bahkan dia akan menggiring isteri dan anaknya untuk sama-sama mengerubuti gerobak Mang Oyo. Teman Mang Oyo waktu kecil, yang sekarang sudah jadi kontraktor nasional, juga masih tetap menjadi pelanggan Mang Oyo. Bahkan selain anak-isterinya, sang mantu dan kedua cucunya pun sudah mulai ketagihan bubur Mang Oyo, setidaknya setiap mereka berlebaran di kota ini.
Setiap murid-murid dan alumni SMP itu cukup memanggilnya Andi. Rambutnya keriting, kulitnya hitam, dan suka berdendang karena dia nyong Ambon. Berkarir di SMP ini sudah lebih dari 35 tahunan. Riwayatnya bermula ketika dia terdampar di rumah jaga sekolah ini. Ikut nginep di situ, menyiangi kebun, menyapu halaman setiap pagi, mencuci mobil atau motor para guru, dan seterusnya. Kerajinannya, kegesitannya, kejujurannya, mengesankan Pak Kepala Sekolah. Sampai, singkat cerita, dia diangkat resmi menjadi penjaga sekolah ketika penjaga sekolah yang lama meninggal dunia. Salah seorang alumnus SMP itu saat ini sudah jadi rektor universitas ternama. Alumni generasi berikutnya ada yang jadi kiyai beken, bintang film, dan penyanyi rock. Dan hebatnya, mereka tidak melupakan Andi. Minggu lalu Pak Rektor lewat di depan sekolah, lalu singgah hanya untuk mencari Andi, memeluknya dan memberinya uang. Pak Kiyai pun secara berkala menjumpainya dan, dengan takzim, memberinya infaq serta pakaian baru terutama setiap menjelang lebaran. Sang bintang film, walaupun cantik dan wangi, kalau bertemu Andi tak segan-segan menggandeng tangannya, persis seperti ketika dia masih murid SMP dulu. Adapun si penyanyi rock, dialah yang paling sering menyambangi Andi. Dengan Andilah dulu dia biasa bergitar dan bernyanyi bersama sehabis pulang sekolah.
Pak Besar, sesuai julukannya, memang berbadan tinggi besar, setidaknya bekas-bekasnya masih kelihatan seperti itu. Karena perawakannya itulah, waktu mudanya dulu dia dipilih oleh Pak Ketua RW untuk menjadi penjaga malam di wilayahnya. Dan memang tidak mengecewakan. Reputasinya dapat diandalkan. Dia pernah meringkus beberapa maling, mempecundangi calon perampok hingga kabur kocar-kacir, membikin keok preman pengkolan yang sering malak remaja masjid. Di usia senjanya ini, secara fungsional dia tetap penjaga malam..Tapi secara struktural sekarang dia Kepala Keamanan RW, membawahi 4 orang penjaga malam lapangan dan bertanggung jawab penuh atas berjalannya security system di ke-RW-an itu. Sejak Pak Besar jadi penjaga malam, sudah 8 kali Ketua RW berganti. Ketua RW yang pertama kali mengangkatnya sudah lama meninggal. Dua ketua RW lainnya juga sudah wafat. Pak Wardiman banyak tahu tentang Pak Besar. Waktu dulu Pak Besar mulai jadi penjaga malam, Pak Wardiman mulai kuliah. Setelah lulus, Pak Wardiman bekerja di sebuah departemen, berpindah-pindah tugas dan kota, sampai pensiun sebagai eselon I. Beliau punya rumah besar, rumah kos-kosan, ruko, deposito, reksadana, dan 3 mobil bagus. Pak Besar juga punya rumah, peninggalan orang tuanya. Luasnya kira-kira 40 m2, letaknya di salah satu gang di wilayah RW itu. Rumah itu telah beberapa kali direnovasi, walaupun tidak pernah tuntas.
Mak Onah sekarang menjadi pembantu Neng Sinta, yaitu sejak Neng Sinta menikah dengan Tuan Francois dan menempati rumah baru mereka. Neng Sinta adalah anak kedua Den Aswin dan cucu pertama Juragan Atmaji.
Karir Mak Onah sebagai pembantu dimulai sejak ibunya, seorang pemetik teh, dipanggil Pak Mandor. Rupanya Pak Mandor ditugaskan Pak Adm (baca: a-de-em, singkatan dari administratur) untuk mencari pembantu rumah tangga, dan pilihannya jatuh kepada Onah. Ketika menjadi pembantu Juragan Atmaji, begitu nama Pak Adm itu, usia Onah baru 14 tahun. Tiga tahun kemudian Onah dikawinkan dengan Pardiyo, sopir pribadi Juragan Atmaji. Setelah Juragan Isteri meninggal dan Juragan Atmaji kawin lagi, Onah dimutasikan ke keluarga Den Aswin. Pertama, karena isteri baru Juragan Atmaji membawa serta pembantu kepercayaannya. Kedua, karena Den Aswin bersama isterinya, dengan hanya seorang pembantu, sudah mulai kewalahan mengurus anak-anaknya. Sampai Pardiyo meninggal dunia karena kolera, Onah, atau sekarang biasa dipanggil Mak Onah, tidak punya anak. Hikmahnya, Mak Onah sangat menyayangi anak-anak. Di antara anak-anak Den Aswin, Neng Sinta paling disayanginya. Seringkali Mak Onah bahkan bertengkar dengan isteri Den Aswin akibat perbedaan policy pengasuhan Neng Sinta ini. Dan seperti telah diceritakan di muka, sekarang Mak Onah mengabdi pada keluarga Neng Sinta, generasi ketiga majikannya.
Demikianlah. Lingkungan boleh berubah. Dunia boleh maju. Sekarang sudah ada voip, 3-G, hypermarket, remote control, play station, futsal, dan seterusnya. Tapi Mang Oyo tetap tukang jualan bubur. Andi tetap penjaga sekolah. Pak Besar tetap penjaga malam. Mak Onah tetap bedinde. Di tengah hiruk-pikuknya perubahan dan kemajuan itu, mereka bertahan dalam eksisitensi lamanya. Perjalanan hidup mereka seperti melingkar di satu titik, satu dimensi. Waktu seolah berhenti buat mereka.

Selasa, Januari 01, 2008

S D M

Suatu pagi, dari sebuah siaran radio saya mendengar seorang penelepon sedang curhat tentang perlakuan pegawai pemda kepadanya. Ceritanya, ketika dia menghadap untuk mengambil formulir, pegawai kantor itu mangatakan bahwa formulir yang dia maksudkan masih disiapkan. Pegawai tersebut bicara kepadanya sambil tetap menonton televisi, sambil kadang-kadang tergelak bersama teman-temannya yang sama-sama menonton dari mejanya masing-masing. Menganggap bahwa menunggu lebih efektif, maka dia pun duduk kembali di ruang tunggu. Setengah jam kemudian, ketika dia menanyakan hal yang sama, jawabannya pun masih tetap sama. Ketika dia mendesak kapan formulir tersebut siap, barulah pegawai itu membalikkan badannya, menyodorkan selembar kertas dan berkata tegas, “Bapak daftar aja dulu. Ntar siang balik lagi ke mari”. Dia pun lalu menuliskan nama dan alamat lengkap di kertas tadi. Siangnya, ketika dia menghadap lagi, pegawai tersebut masih bertanya, “Bapak udah daftar?” Dia jawab bahwa tadi pagi dia sudah mendaftar, lalu dengan agak keki dia juga bilang, “Masa Ibu lupa lagi pada saya?” Setengah sewot pegawai itu berkata, “Pekerjaan saya banyak. Orang yang harus saya layani juga banyak, bukan cuman Bapak. Wajar kan kalau saya gak inget lagi sama Bapak”. Laksana suami kena gebuk bini karena ketahuan selingkuh, dia menunduk dan menyesal. Tapi matanya sempat melirik ke kertas pendaftaran. Yang tertera di sana belum bertambah, masih satu-satunya namanya yang ditulisnya tadi pagi. Artinya belum ada pendaftar lain. Artinya yang dilayani pegawai itu, untuk keperluan seperti dia, dari pagi hingga jam dua siang itu, baru dia. Subhanallah.
Dari sebuah surat kabar, saya membaca tulisan feature tentang pengalaman para pebisnis, ketika berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Dalam satu kasus, dilaporkan tidak kurang dari 14 meja yang harus dilalui untuk memproses izin pendirian perusahaan. Sampai surat izin keluar dibutuhkan waktu tidak kurang dari 3 bulan. Itu pun dengan perjuangan yang hebat : mengawal dokumen dari meja ke meja, menebar amplop ke setiap penguasa meja, mentraktir makan dan main golf buat para penguasa ruangan. Kalau tidak demikian, para saudagar itu akan menemui kesulitan. Mengisi formulir bisa bolak-balik, minta paraf dan tanda tangan bisa bolak-balik juga. Kesimpulannya, waktu proses jadi lebih lama, tenaga dan pikiran jadi lebih terkuras, emosi dan tekanan darah jadi lebih tinggi.
Di sebuah mal ternama, saya pernah menyaksikan kelompok ibu-ibu dan bapak-bapak berseragam PNS asyik berbelanja atau sekedar cuci mata. Suasana santai terpancar dari kelompok ini. Berjalan beriringan, atau bergerombol, membeli sesuatu barang setelah diskusi lama dengan penjaga counter, mereka benar-benar memberikan kesan sedang menghabiskan waktu senggangnya, sedang killing time. Dari sebuah acara televisi saya pun pernah menonton kelompok PNS ini dipergoki oleh Satpol PP, yang memang sedang bertugas menjaring PNS yang keluyuran pada jam kerja. Mereka dicatat, diberi peringatan, lalu diancam dilaporkan ke instansinya. Bagaimana kelanjutan upaya penegakan disiplin ini, saya tidak tahu. Bagaimana kontinuitasnya, konsistensinya, dan sanksinya, saya tidak tahu.
Birokrasi pemerintah, kata orang-orang pintar, berjalan bagai kura-kura.
Saya teringat pada pembangunan jalan layang sepanjang tidak lebih dari 300 meter, yang langsung ditangani pemda, yang memakan waktu hampir 2 tahun. Lalu saya teringat pada pembangunan jalan tol sepanjang hampir 120 kilometer, yang dikerjakan oleh kontraktor profesional, yang memakan waktu sekitar 2 tahun juga.
Kalau pemerintah tidur, kata para ahli, ekonomi akan berjalan baik.
Saya teringat pada komunitas pedagang sepatu yang termasyhur dan produknya sangat laku, tapi kemudian pasarnya menjadi lesu setelah ada program pembinaan dan penertiban. Saya teringat pada pasar tradisional yang semula tenteram dan ramai, tidak lama kemudian berantakan karena muculnya program pembangunan pasar baru.
Sudah sangat sering kita mempertanyakan SDM di pemerintahan, baik perilakunya, moralnya, maupun kompetensinya. Pertanyaan kita berkisar sekitar : Mengapa mereka tidak profesional? Mengapa mereka, sebagai pelayan masyarakat, justeru minta dilayani masyarakat? Mengapa setiap berurusan dengan mereka harus pakai uang semir? Mengapa mereka menciptakan begitu banyak meja yang harus dilalui? Mengapa mereka bekerja begitu lambat? Mengapa mereka pasang image angker?
Seorang teman pernah menyatakan bahwa untuk memahami watak SDM PNS ini kita harus menelusuri latar belakang sejarahnya. Sebagai penerus birokrasi feodal Belanda, mereka minta dilayani, bukan melayani. Tabiat mereka adalah meminta, bukan memberi. Sebagai penerus birokrasi kolonial Belanda, mereka adalah penguasa yang berhak menciptakan kewenangannya sendiri. Dengan kewenangan itu, setiap urusan mengharuskan ada legalitasnya, kontrolnya, tanda tangannya, stempelnya, restunya. Demikianlah, kewenangan mereka bisa menjadi amat luas, amat kuat. Saking luas dan kuatnya, dalam praktek mereka bisa saja memainkan jurus mengerikan ini : kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat; kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah; kalau bisa dipalak, kenapa tidak ?