Selasa, Januari 01, 2008

S D M

Suatu pagi, dari sebuah siaran radio saya mendengar seorang penelepon sedang curhat tentang perlakuan pegawai pemda kepadanya. Ceritanya, ketika dia menghadap untuk mengambil formulir, pegawai kantor itu mangatakan bahwa formulir yang dia maksudkan masih disiapkan. Pegawai tersebut bicara kepadanya sambil tetap menonton televisi, sambil kadang-kadang tergelak bersama teman-temannya yang sama-sama menonton dari mejanya masing-masing. Menganggap bahwa menunggu lebih efektif, maka dia pun duduk kembali di ruang tunggu. Setengah jam kemudian, ketika dia menanyakan hal yang sama, jawabannya pun masih tetap sama. Ketika dia mendesak kapan formulir tersebut siap, barulah pegawai itu membalikkan badannya, menyodorkan selembar kertas dan berkata tegas, “Bapak daftar aja dulu. Ntar siang balik lagi ke mari”. Dia pun lalu menuliskan nama dan alamat lengkap di kertas tadi. Siangnya, ketika dia menghadap lagi, pegawai tersebut masih bertanya, “Bapak udah daftar?” Dia jawab bahwa tadi pagi dia sudah mendaftar, lalu dengan agak keki dia juga bilang, “Masa Ibu lupa lagi pada saya?” Setengah sewot pegawai itu berkata, “Pekerjaan saya banyak. Orang yang harus saya layani juga banyak, bukan cuman Bapak. Wajar kan kalau saya gak inget lagi sama Bapak”. Laksana suami kena gebuk bini karena ketahuan selingkuh, dia menunduk dan menyesal. Tapi matanya sempat melirik ke kertas pendaftaran. Yang tertera di sana belum bertambah, masih satu-satunya namanya yang ditulisnya tadi pagi. Artinya belum ada pendaftar lain. Artinya yang dilayani pegawai itu, untuk keperluan seperti dia, dari pagi hingga jam dua siang itu, baru dia. Subhanallah.
Dari sebuah surat kabar, saya membaca tulisan feature tentang pengalaman para pebisnis, ketika berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Dalam satu kasus, dilaporkan tidak kurang dari 14 meja yang harus dilalui untuk memproses izin pendirian perusahaan. Sampai surat izin keluar dibutuhkan waktu tidak kurang dari 3 bulan. Itu pun dengan perjuangan yang hebat : mengawal dokumen dari meja ke meja, menebar amplop ke setiap penguasa meja, mentraktir makan dan main golf buat para penguasa ruangan. Kalau tidak demikian, para saudagar itu akan menemui kesulitan. Mengisi formulir bisa bolak-balik, minta paraf dan tanda tangan bisa bolak-balik juga. Kesimpulannya, waktu proses jadi lebih lama, tenaga dan pikiran jadi lebih terkuras, emosi dan tekanan darah jadi lebih tinggi.
Di sebuah mal ternama, saya pernah menyaksikan kelompok ibu-ibu dan bapak-bapak berseragam PNS asyik berbelanja atau sekedar cuci mata. Suasana santai terpancar dari kelompok ini. Berjalan beriringan, atau bergerombol, membeli sesuatu barang setelah diskusi lama dengan penjaga counter, mereka benar-benar memberikan kesan sedang menghabiskan waktu senggangnya, sedang killing time. Dari sebuah acara televisi saya pun pernah menonton kelompok PNS ini dipergoki oleh Satpol PP, yang memang sedang bertugas menjaring PNS yang keluyuran pada jam kerja. Mereka dicatat, diberi peringatan, lalu diancam dilaporkan ke instansinya. Bagaimana kelanjutan upaya penegakan disiplin ini, saya tidak tahu. Bagaimana kontinuitasnya, konsistensinya, dan sanksinya, saya tidak tahu.
Birokrasi pemerintah, kata orang-orang pintar, berjalan bagai kura-kura.
Saya teringat pada pembangunan jalan layang sepanjang tidak lebih dari 300 meter, yang langsung ditangani pemda, yang memakan waktu hampir 2 tahun. Lalu saya teringat pada pembangunan jalan tol sepanjang hampir 120 kilometer, yang dikerjakan oleh kontraktor profesional, yang memakan waktu sekitar 2 tahun juga.
Kalau pemerintah tidur, kata para ahli, ekonomi akan berjalan baik.
Saya teringat pada komunitas pedagang sepatu yang termasyhur dan produknya sangat laku, tapi kemudian pasarnya menjadi lesu setelah ada program pembinaan dan penertiban. Saya teringat pada pasar tradisional yang semula tenteram dan ramai, tidak lama kemudian berantakan karena muculnya program pembangunan pasar baru.
Sudah sangat sering kita mempertanyakan SDM di pemerintahan, baik perilakunya, moralnya, maupun kompetensinya. Pertanyaan kita berkisar sekitar : Mengapa mereka tidak profesional? Mengapa mereka, sebagai pelayan masyarakat, justeru minta dilayani masyarakat? Mengapa setiap berurusan dengan mereka harus pakai uang semir? Mengapa mereka menciptakan begitu banyak meja yang harus dilalui? Mengapa mereka bekerja begitu lambat? Mengapa mereka pasang image angker?
Seorang teman pernah menyatakan bahwa untuk memahami watak SDM PNS ini kita harus menelusuri latar belakang sejarahnya. Sebagai penerus birokrasi feodal Belanda, mereka minta dilayani, bukan melayani. Tabiat mereka adalah meminta, bukan memberi. Sebagai penerus birokrasi kolonial Belanda, mereka adalah penguasa yang berhak menciptakan kewenangannya sendiri. Dengan kewenangan itu, setiap urusan mengharuskan ada legalitasnya, kontrolnya, tanda tangannya, stempelnya, restunya. Demikianlah, kewenangan mereka bisa menjadi amat luas, amat kuat. Saking luas dan kuatnya, dalam praktek mereka bisa saja memainkan jurus mengerikan ini : kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat; kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah; kalau bisa dipalak, kenapa tidak ?

Tidak ada komentar: