Kamis, Januari 03, 2008

CALON SEGAR, CALON BASI

Bulan depan di desa itu akan diselenggarakan pemilihan kepala desa. Pak Marjan, kepala desa saat ini, sudah habis masa jabatannya. Tapi semangatnya untuk menjadi kades untuk kedua kalinya tetap tinggi. Dia termasuk salah satu dari 5 cakades pada pilkades bulan depan itu. Empat cakades lainnya hampir seangkatan dengan Pak Marjan. Yang pertama Pak Kohar, tokoh ulama desa. Yang kedua Bu Marjan, mantan isteri pertama Pak Marjan. Yang ketiga Pak Abdul, mantan kades dua periode sebelum Pak Marjan. Yang terakhir Pak Rahmat, mantan kades sebelum Pak Marjan. Tentu saja kelima cakades ini mempunyai tim sukses masing-masing. Uang sudah ditebar baik dalam kemasan amplop, paket sembako, seragam hansip, pembagian benih, pertandingan bola berhadiah, maupun renovasi rumah jompo. Rayuan, ancaman, dan teror sudah dilancarkan, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Visi dan misi sudah disosialisasikan. Kampanye hampir tiap hari dilakukan. Tema kampanye Pak Kohar adalah “baldatun toyibatun warobun gofur”. Tema kampnye Bu Marjan “cegahlah kekerasan dalam rumah tangga”. Tema kampanye Pak Abdul “pilihlah cakades gentleman”. Tema kampanye Pak Rahmat “cakades bersih akan terpilih”. Sedangkan tema kampanye Pak Marjan ”sekali juara tetap juara”.
Sebagai calon incumbent, Pak Marjan memang menjadi musuh bersama calon lainnya. Dalam pidato kampanye para seterunya itu, sering sekali Pak Marjan menjadi bulan-bulanan kritik, sindiran, bahkan pelecehan. Pak Kohar, misalnya, menyebut bahwa pemerintah desa saat ini sudah ngaco. Ada 2 pejabat desa yang selingkuh dari isterinya, beberapa anak-anak pejabat desa yang teler, beberapa pejabat desa yang terlibat praktek ijon dan renten, dan seterusnya. Tapi seperti biasanya, kalau diminta bukti, Pak Kohar selalu ngejeplak “cari aja sendiri !” Bu Marjan, apalagi, paling keras tonjokannya kepada Pak Marjan. Sebagai mantan isterinya, Bu Marjan merasa paling sah untuk mengungkapkan aib rumah tangganya dulu: bagaimana dia ditipu, dibohongi, ketika awal-awal Pak Marjan kawin lagi, untuk selanjutnya bagaimana tidak adilnya Pak Marjan memperlakukan isteri-isterinya. Pak Abdul juga sering memperolok-olokan Pak Marjan sebagai laki-laki pengecut, “tukang menohok kawan seiring, tukang menggunting dalam lipatan”. Maklum, mereka dulu pernah bersaing memperebutkan Nyi Oneng, dan Pak Abdul keok. Nyi Oneng sekarang menjadi isteri pertama Pak Marjan setelah cerai dengan Bu Marjan. Dalam kaitan inilah Bu Marjan mati-matian mempertahankan nama “Bu Marjan” karena menurut teorinya, hanya dialah yang berhak atas trade mark itu. Adapun Pak Rahmat, dalam black campaign-nya selalu menyindir-nyindir kelakuan Pak Marjan ketika dulu menjadi Sekdes-nya. Waktu itu Pak Marjan sering pinjam uang PBB, dan sampai sekarang perhitungannya belum jelas. Pak Rahmat selalu menyindir “cakades korupsi harus menyisih, sebelum disapu bersih”. Adapun Pak Marjan, menghadapi serangan bersama itu, tetap pede dengan mengampanyekan diri sebagai cakades yang paling layak jadi juara.
Demikianlah gegap-gempita pertarungan memperebutkan posisi top di desa itu. Antartim sukses terjadi ketegangan. Pernah juga terjadi keributan, yaitu waktu ada pertunjukan dangdut dan wayang golek. Posko-posko calon selalu ramai dengan diskusi mengatur taktik dan strategi. Radio disetel keras-keras, asap rokok mengepul tebal-tebal. Kopi panas. teh panas, aneka kue, selalu terhidang. Di pinggir-pinggir jalan berkibaran bendera-bendera calon. Di tembok-tembok bertebaran foto-foto calon. Dan setelah diselingi 2 hari masa tenang, maka sampailah pada hari H pilkades itu. Sejam sebelum adzan subuh, para tim sukses bergerilya mengetuk pintu rumah-rumah. Sekali lagi money politic dijalankan sambil menegaskan pesan, “jangan lupa pilihlah jagoan Anda ini”.
Mulai jam tujuh pagi, satu persatu para cakades tiba di arena pencoblosan. Pak Marjan tiba lebih dulu, memaksakan diri berjalan tegap, menyembunyikan keringkihan tubuhnya akibat asma yang akut. Kemudian muncul Pak Kohar, di atas kursi roda yang ramai-ramai didorong tim suksesnya. Sudah dua tahun ini Pak Kohar tidak bisa berjalan karena terserang stroke. Tapi mungkin karena begitu tabiatnya, atau karena kamuflase semata, dialah cakades yang paling seenaknya ngomongnya dan paling cuek lagak-lagunya. Lima menit kemudian Pak Abdul datang. Tidak seperti biasanya, dia tidak membawa tongkat. Kacamatanya kelihatan baru, tapi nampaknya tetap saja tidak banyak membantu penglihatannya yang sudah rabun berat. Dia berjalan seolah bermata normal, sedangkan para pengiringnya terus siaga berjalan di sampingnya. Selanjutnya muncul Pak Rahmat, pakai jas lengkap, pakai sepatu hak tinggi, dan pakai hearing aids. Dialah cakades paling pendek, paling tua, tapi paling kaya. Kira-kira jam tujuh seperempat, barulah Bu Marjan datang. Senyum khasnya terus-menerus menghiasi wajahnya. Konon senyumnya itulah senjata Bu Marjan yang paling ampuh untuk menutupi giginya yang ompong dan menghentikan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan banyak jawaban. Maklum, Bu Marjan penderita gagap berat.
Tepat jam delapan, secara resmi pencoblosan dimulai. Tapi sampai jam sebelas siang, hanya sedikit penduduk yang datang. Ditaksir-taksir, tidak lebih dari sepertiga jumlah pemilih yang mencoblos. Tim sukses dan para bodyguard gelisah. Dengan sigap mereka berpencar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Para cakades berkeringat dingin. Handphone di tangan masing-masing berdering-dering. Ada yang melaporkan dengan bicara, ada juga dengan sms. Dari informasi intelijen yang masuk diketahui bahwa sebagian penduduk ternyata berkumpul di masjid jami, alasannya menunggu solat duhur berjamaah. Sebagian lagi pergi keluar desa, tanpa alasan yang jelas. Sebagian lagi ngobrol-ngobrol saja di pos ronda, sebagian lagi santai di rumah sambil momong anak dan bercanda dengan isteri mereka. Para cakades mulai kehilangan pengendalian diri. Pak Kohar bersila di kursi rodanya, komat-kamit seperti berdoa. Bu Marjan mulai menggosok-gosok pelipis dan tengkuknya dengan balsem, migrennya kumat. Pak Abdul mondar-mandir, kedua tangannya yang gemetar disembunyikannya di saku celananya. Pak Rahmat teronggok di kursi, terus-menerus merokok, tapi pandangan matanya kosong. Pak Marjan sendiri sudah tiga kali bolak-balik ke kamar mandi, mencret.
Ketika lewat tengah hari perhitungan suara dilakukan, masya Allah, lebih dari duapertiga surat suara tidak sah. Akhirnya, setelah rapat kilat dengan panitia dan jajaran stafnya, jam tiga siang Pak Camat mengumumkan pilkades diundur sampai waktu yang akan ditentukan kemudian.
Besoknya, tembok Balai Desa banyak ditempeli kertas selebaran. Para staf desa berkerumun, dengan cermat membaca selebaran-selebaran itu:
“Kami golput”.
“Para pecundang, minggirlah !”
“Sudah tua masih ngelaba, malu dong”.
“Kita ogah stok lama”.
“Cakades tua, daluarsa”.
“Pokoknya cakades muda, tidak bisa tidak !”.
“Kami mau calon segar, bukan calon basi”.

Tidak ada komentar: