Jumat, Januari 04, 2008

DI MANA-MANA

Di mana-mana ada pengemis. Di persimpangan jalan berlampu stopan, misalnya, paling sedikit akan kita jumpai empat jenis pengemis.
Yang pertama sebut saja pengemis konvensional, yaitu penyandang cacat dan orang-orang sepuh yang renta. Kalau cacatnya buta, mereka berjalan merayap lalu merapat ke kaca mobil dengan gapaian jemarinya. Kalau cacatnya bukan buta, mereka kadang bersimpuh di pinggir jalan, kadang pula sedikit mengerang, sambil menjulurkan sebelah kakinya yang dibebat kain berlumuran cairan merah. Adapun pengemis sepuh, hemat saya, adalah pengemis tak banyak lagak. Suaranya lirih, assalamu’alaikumnya fasih
Yang kedua biasa disebut pengamen. Ada yang bergerombol bernyanyi dan bertabuh-tabuhan. Ada juga yang sendirian, bergitar, bersuling, atau cukup bertepuk tangan. Jenis pengamen ini paling banyak variannya. Anak jalanan termasuk salah satunya. Preman-preman juga nyambinya di sini. Varian yang lain: berdasarkan potongan dan cat rambutnya, sistem bagi hasilnya, wilayah kekuasaannya, dan sebagainya.
Jenis ketiga adalah merekan yang biasa menyerbu kaca mobil dan kaca spion. Peralatannya lap atau kemoceng. Pada saat hujan, dengan sensasi berhujan-hujanan, mereka mendapatkan momentum yang efektif untuk menekan sasaran. Mata merah, gaya teler, akan menyegerakan ibu-ibu yang mengemudikan mobilnya sendirian menyodorkan kepingan uangnya.
Jenis keempat, si pembawa kotak. Kalau perempuan, biasanya ibu-ibu berjilbab, bertopi, dan mengempit tas. Kalau laki-laki, biasanya bersorban, atau berpici, atau berbaju koko. Kotak yang disodorkannya bertulisan amal jariyah untuk pembangunan masjid, pesantren, pengungsi, atau entah apa lagi, dan entah di mana.
Di persimpangan jalan yang tanpa lampu stopan, atau di belokan jalan memutar, kita tahu, ada pengatur lalu lintas swasta. Pernah dijuluki pak ogah, atau polisi cepek. Perannya sangat dominan dalam menyetop antrian mobil dari jurusan sini dan menyilakan antrian mobil dari arah sana. Klakson boleh bersahut-sahutan, juga gerutuan. Tapi apalah artinya itu dibandingkan dengan kalkulasi rupiah dari pusaran arus kendaraan yang manajemennya, sepenuhnya, dikendalikannya.
Selain di persimpangan, di jalan lurus pun para pengemis tidak kurang banyaknya. Mereka memasang drum-drum di tengah jalan untuk merintangi laju kecepatan kendaraan. Mereka .berderet, merunduk-runduk, dan mengasong-asongkan jaring penangkap uang kepada setiap pengendara yang lewat. Melalui pengeras suara, kutipan ayat suci Al-Quran menyemarakkan pemandangan ini. Atas nama rumah Tuhan. Anda diminta pelan, diminta sabar, diminta sumbangan,
Dalam rangka memperingati 17 Agustus pun, Anda yang kebetulan lewat di sebuah jalan kecil, seringkali kepergok diminta sumbangan untuk biaya perayaan di lingkungan jalan itu.
Jalan berlubang juga mengundang pengemis. Siasatnya: satu orang unjuk kerja menimbun lubang, dua orang masing-masing di ujung sini dan di ujung sana mengatur sistem buka-tutup lalu lintas sambil, tentu saja, meminta-minta.
Para staf kantoran seringkali kerepotan apabila bos mereka menyuruh menghadapi tamu pengemis jenis lain. Pesan bosnya apalagi kalau bukan “bilangin saya lagi keluar”. Banyak pejabat yang ruangan kerjanya punya pintu keluar-masuk rahasia untuk menghindarinya. Kabarnya pernah terjadi sebuah BUMN, dalam jangka waktu tujuh hari berturut-turut, didatangi tamu dari organisasi pemuda, yayasan tentara, koperasi departemen, alumni perguruan tinggi, kantor kelurahan, resor kepolisian, panitia pertandingan golf.. Dua yang disebut pertama menggunakan pendekatan khas, bahasanya sopan, nadanya menekan. Alasan tidak penting, karena yang penting sumbangan. Yang ketiga, selaku sejawat dari departemen teknis, merasa punya hak meminta bagian, terserah masuk pos mana. Yang keempat argumennya sentimen korps dan historis, dalam rangka reuni dan silaturahmi. Yang kelima, dalam rangka THR. Yang keenam, demi keamanan lingkungan. Yang terakhir, demi pembinaan olah raga dan jaga langganan.
Proses pengemisan seringkali dilakukan tidak sederhana dengan langsung berkunjung, melainkan melalui prosedur tetap berupa surat dan proposal, lalu disusul kontak telepon. Melalui surat dan proposal, ditawarkannya buku-buku, kalender, program pembangunan, seminar, atau karcis pertunjukan kesenian. Beberapa hari kemudian telepon berdering. Suara di seberang sana hangat dan bersahabat. Tapi kalau tidak ditanggapi, suara aslinya keluar: “minta bicara dengan pemegang keputusan di kantor ini!”.
Teman saya, duda setengah baya, punya cerita seru. Suatu hari dia kedatangan tiga pemuda, bermusik dan berdendang, lalu menggedor-gedor pintu pagar. Ketika dijawab maaf, mereka komplain: “ini kan tanggal muda, Bapak kan baru gajian!” Di hari lain muncul para petugas kamling mempresentasikan bagaimana gigihnya mereka dalam tiga malam terakhir ini mengintip, mengepung, menelikung, lalu beramai-ramai memukuli seorang pemuda ceking, yang ternyata bukan maling, tapi kurang normal. Di ujung presentasinya, mereka menghiba “mohon kebijaksanaan, kami sudah tidak punya baju seragam”. Di hari lain lagi dia menerima tamu jauh, membawa surat keterangan lengkap dari kepala desanya, menyatakan bahwa rumahnya ludes terbakar. Tentu saja dia minta sumbangan, walaupun di kemudian hari ternyata dia seorang buron kecil-kecilan. Dua hari kemudian muncul perempuan hitam manis, meminta waktu untuk bertemu. Setelah setengah jam pembicaraan, dia menyatakan siap membantu membimbing anak-anak, karena punya kompetensi dalam bidang psikologi perkembangan. Atau sebagai sekretaris pribadi, karena dia pun pernah kuliah di akademi pariwisata. Atau bekerja paruh waktu dengan system flexy time, baik sebagai lady escort, sebagai instruktur kebugaran, maupun sebagai konsultan asuransi. Merasa tidak dilayani, dengan rendah hati tapi elegan si hitam manis mengajukan permohonan pinjam uang untuk ongkos pulang, kalau perlu dengan gelang sebagai jaminan. Selidik punya selidik, tamu terakhir ini merupakan dampak sampingan dari iklan turut berduka cita atas kematian isterinya, kira-kira dua bulan sebelumnya.
Ya, di mana-mana ada pengemis. Di kantor. Di lobi hotel. Di ruang interogasi. Di parlemen. Di pengadilan. Di partai. Di pilkada. Di hati kita.
Maha Suci Allah.

Tidak ada komentar: