Rabu, Januari 02, 2008

SATU TITIK SATU DIMENSI

Bagi mereka waktu seperti berhenti. Lingkungan di sekitarnya, atau berita-berita di televisi, atau obrolan orang-orang, menyatakan dunia terus berubah dan maju. Tapi tidak bagi Mang Oyo, Andi, Pak Besar, dan Mak Onah. Mang Oyo adalah tukang jualan bubur ayam sejak tahun 70-an. Andi adalah penjaga sekolah merangkap juru parkir di sebuah SMP, sejak umurnya belum 20. Pak Besar adalah penjaga malam di sebuah RW yang sudah 40 tahunan melaksanakan tugasnya. Sedangkan Mak Onah adalah pembantu rumah tangga turun-temurun sampai majikan generasi ketiga.
Bubur Mang Oyo terkenal di seantero kota kecil itu. Halus, panas, gurih. Pedas-tidaknya, manis-asinnya, secara customize bisa dipesan sesuai selera pembeli. Para langganan sudah hapal pada suara dan irama dentingan mangkok porselin yang dibunyikannya. Dengan dentingan yang khas itu, para langganan akan buru-buru keluar rumah dengan kondisi seadanya. Ibu-ibu kebanyakan pakai daster, rambut kusut, dan tentu saja belum mandi pagi. Bapak-bapak hanya pakai celana sontog dan kaus singlet, bahkan kelihatannya cuci muka pun belum. Teman saya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, merupakan pelanggan Mang Oyo sejak dia belum sekolah. Kalau sedang week end, perilakunya akan sama seperti bapak-bapak tadi, bahkan dia akan menggiring isteri dan anaknya untuk sama-sama mengerubuti gerobak Mang Oyo. Teman Mang Oyo waktu kecil, yang sekarang sudah jadi kontraktor nasional, juga masih tetap menjadi pelanggan Mang Oyo. Bahkan selain anak-isterinya, sang mantu dan kedua cucunya pun sudah mulai ketagihan bubur Mang Oyo, setidaknya setiap mereka berlebaran di kota ini.
Setiap murid-murid dan alumni SMP itu cukup memanggilnya Andi. Rambutnya keriting, kulitnya hitam, dan suka berdendang karena dia nyong Ambon. Berkarir di SMP ini sudah lebih dari 35 tahunan. Riwayatnya bermula ketika dia terdampar di rumah jaga sekolah ini. Ikut nginep di situ, menyiangi kebun, menyapu halaman setiap pagi, mencuci mobil atau motor para guru, dan seterusnya. Kerajinannya, kegesitannya, kejujurannya, mengesankan Pak Kepala Sekolah. Sampai, singkat cerita, dia diangkat resmi menjadi penjaga sekolah ketika penjaga sekolah yang lama meninggal dunia. Salah seorang alumnus SMP itu saat ini sudah jadi rektor universitas ternama. Alumni generasi berikutnya ada yang jadi kiyai beken, bintang film, dan penyanyi rock. Dan hebatnya, mereka tidak melupakan Andi. Minggu lalu Pak Rektor lewat di depan sekolah, lalu singgah hanya untuk mencari Andi, memeluknya dan memberinya uang. Pak Kiyai pun secara berkala menjumpainya dan, dengan takzim, memberinya infaq serta pakaian baru terutama setiap menjelang lebaran. Sang bintang film, walaupun cantik dan wangi, kalau bertemu Andi tak segan-segan menggandeng tangannya, persis seperti ketika dia masih murid SMP dulu. Adapun si penyanyi rock, dialah yang paling sering menyambangi Andi. Dengan Andilah dulu dia biasa bergitar dan bernyanyi bersama sehabis pulang sekolah.
Pak Besar, sesuai julukannya, memang berbadan tinggi besar, setidaknya bekas-bekasnya masih kelihatan seperti itu. Karena perawakannya itulah, waktu mudanya dulu dia dipilih oleh Pak Ketua RW untuk menjadi penjaga malam di wilayahnya. Dan memang tidak mengecewakan. Reputasinya dapat diandalkan. Dia pernah meringkus beberapa maling, mempecundangi calon perampok hingga kabur kocar-kacir, membikin keok preman pengkolan yang sering malak remaja masjid. Di usia senjanya ini, secara fungsional dia tetap penjaga malam..Tapi secara struktural sekarang dia Kepala Keamanan RW, membawahi 4 orang penjaga malam lapangan dan bertanggung jawab penuh atas berjalannya security system di ke-RW-an itu. Sejak Pak Besar jadi penjaga malam, sudah 8 kali Ketua RW berganti. Ketua RW yang pertama kali mengangkatnya sudah lama meninggal. Dua ketua RW lainnya juga sudah wafat. Pak Wardiman banyak tahu tentang Pak Besar. Waktu dulu Pak Besar mulai jadi penjaga malam, Pak Wardiman mulai kuliah. Setelah lulus, Pak Wardiman bekerja di sebuah departemen, berpindah-pindah tugas dan kota, sampai pensiun sebagai eselon I. Beliau punya rumah besar, rumah kos-kosan, ruko, deposito, reksadana, dan 3 mobil bagus. Pak Besar juga punya rumah, peninggalan orang tuanya. Luasnya kira-kira 40 m2, letaknya di salah satu gang di wilayah RW itu. Rumah itu telah beberapa kali direnovasi, walaupun tidak pernah tuntas.
Mak Onah sekarang menjadi pembantu Neng Sinta, yaitu sejak Neng Sinta menikah dengan Tuan Francois dan menempati rumah baru mereka. Neng Sinta adalah anak kedua Den Aswin dan cucu pertama Juragan Atmaji.
Karir Mak Onah sebagai pembantu dimulai sejak ibunya, seorang pemetik teh, dipanggil Pak Mandor. Rupanya Pak Mandor ditugaskan Pak Adm (baca: a-de-em, singkatan dari administratur) untuk mencari pembantu rumah tangga, dan pilihannya jatuh kepada Onah. Ketika menjadi pembantu Juragan Atmaji, begitu nama Pak Adm itu, usia Onah baru 14 tahun. Tiga tahun kemudian Onah dikawinkan dengan Pardiyo, sopir pribadi Juragan Atmaji. Setelah Juragan Isteri meninggal dan Juragan Atmaji kawin lagi, Onah dimutasikan ke keluarga Den Aswin. Pertama, karena isteri baru Juragan Atmaji membawa serta pembantu kepercayaannya. Kedua, karena Den Aswin bersama isterinya, dengan hanya seorang pembantu, sudah mulai kewalahan mengurus anak-anaknya. Sampai Pardiyo meninggal dunia karena kolera, Onah, atau sekarang biasa dipanggil Mak Onah, tidak punya anak. Hikmahnya, Mak Onah sangat menyayangi anak-anak. Di antara anak-anak Den Aswin, Neng Sinta paling disayanginya. Seringkali Mak Onah bahkan bertengkar dengan isteri Den Aswin akibat perbedaan policy pengasuhan Neng Sinta ini. Dan seperti telah diceritakan di muka, sekarang Mak Onah mengabdi pada keluarga Neng Sinta, generasi ketiga majikannya.
Demikianlah. Lingkungan boleh berubah. Dunia boleh maju. Sekarang sudah ada voip, 3-G, hypermarket, remote control, play station, futsal, dan seterusnya. Tapi Mang Oyo tetap tukang jualan bubur. Andi tetap penjaga sekolah. Pak Besar tetap penjaga malam. Mak Onah tetap bedinde. Di tengah hiruk-pikuknya perubahan dan kemajuan itu, mereka bertahan dalam eksisitensi lamanya. Perjalanan hidup mereka seperti melingkar di satu titik, satu dimensi. Waktu seolah berhenti buat mereka.

Tidak ada komentar: